Junaidi Auly: Insentif Pajak Saat Pandemi Harus Tepat Sasaran

DL/27022021/Jakarta

--- Realisasi penerimaan pajak hanya mencapai Rp1.070,0 triliun, atau 89,3% dari target APBN 2020 yang sudah diubah melalui Perpres 72/2020 senilai Rp1.198,8 triliun. Pandemi Covid-19 tentu saja ikut memengaruhi kinerja perpajakan meskipun ini sudah terjadi berulang kali tidak dapat mencapai target.

Salah satu kontraksi penerimaan pajak selain karena melemahnya aktivitas ekonomi, juga karena Pemerintah memberikan insentif perpajakan yang luas di tengah Pandemi Covid-19 ini. Sebagaimana kita ketahui bahwa shortfall (selisih antara realisasi dan target) penerimaan pajak pada 2020 mencapai Rp128,8 triliun.
Terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2021 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Covid-19 yang menggantikan PMK-86/PMK.03/2020 jo PMK-110/PMK.03/2020 sebagai langkah Pemerintah memberikan perpanjangan insentif pajak sampai dengan 30 Juni 2021.

Ini tentu saja menjadi kabar gembira bagi penerimanya. Insentif yang diberikan Menteri Keuangan meliputi Insentif PPh Pasal 21. Insentif PPh Final Pasal 23 UMKM, Insentif PPh Final Jasa Konstruksi, Insentif PPh Pasal 22 Impor, Insentif Angsuran PPh Pasal 25, dan Insentif PPN.
Anggota Komisi XI DPR RI Junaidi Auly mengatakan bahwa insentif pajak memang keniscayaan yang diberikan Pemerintah dalam kondisi pandemi Covid-19 yang belum juga selesai. “Tetapi yang harus ditekankan disini adalah bahwa insentif yang diberikan Pemerintah harus benar-benar tepat sasaran,” ujar Junaidi dalam keterangan tertulis. Senin, 22 Pebruari 2021.

Legislator Fraksi PKS ini melanjutkan, Tentu saja kita masih mengingat bagaimana Pemerintah memberikan obral tarif tebusan dengan UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty. Negara kehilangan potensi pemasukan yang sangat besar sekaligus mencederai rasa keadilan bagi mayoritas masyarakat yang patuh membayar pajak saat itu.

"Saat ini memang tidak dipungkiri bahwa semua sektor terdampak Pandemi Covid-19, dan belum lagi kegagalan pemerintah mencapai target penerimaan pajak yang bahkan sudah terjadi dari sebelum adanya pandemi," tutur Junaidi.

Menurut Aleg dari Dapil Lampung II ini dalam memberikan insentif tetap harus ada skala prioritas yang mengedepankan prinsip keadilan (Equity) baik keadilan vertikal maupun horizontal. Lebih lanjut tetap harus juga sesuai dengan prinsip kecocokan/kelayakan (Convience). “Dari sini seharusnya kebijakan insentif pajak bisa diarahkan mana yang lebih penting harus didahulukan dan kepada siapa insentif pajak diberikan,” pungkas Junaidi.

Dalam kaitannya dengan rencana Pemerintah memberikan keringanan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) hingga 0% untuk pembelian mobil baru yang dilakukan secara bertahap dan dimulai pada Maret 2021, Junaidi juga melihat ini harus dikaji lebih mendalam.

Sebagaimana sebelumnya dijelaskan tentang skala prioritas pemberian insentif dalam kondisi pandemi, apakah relaksasi Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) ini mendesak?

Apalagi pemberian insentif ini akan menggunakan skema PPnBM DTP (Ditanggung Pemerintah). Pemerintah harus mengkaji dengan cermat dan tepat atas kebijakan insentif pajak apalagi untuk yang sifatnya barang mewah. "Jangan sampai ini kembali mencederai rasa keadilan disaat banyak masyarakat kecil masih mengandalkan bantuan sosial dan PHK yang masih terus terjadi,” ungkap Junaidi. (had)